Dialektika dan Logika Ala Tan Malaka

TAN MALAKA MENJELASKAN DIALEKTIKA DAN LOGIKA SEBAGAI BERIKUT :
TIMBULNYA PERSOALAN DIALEKTIKA

Pertama – tama kita membahas perkara yang berhubungan dengan Logika, Ilmu Berpikir. Semua pertanyaan yang di ajukan boleh dijawab dengan ya atau tidak. Menurut Logika, ya, bukan berarti tidak. Dan tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti iya.

Sekarang, kita memeriksa pertanyaan yang tidak bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak. Sekarang kita mencari persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh Logika. Pertanyaan yang tidak bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu, adalah bermacam-macam, masing-masing mengandung salah satu atau beberapa perkara dibawah ini.

Dialektika Tan Malaka

TEMPO (PERPUTARAN WAKTU)

Pertanyaan umpamanya, apakah Edison bodoh atau pandai? tidak bisa dijawab dengan pasti menurut Logika saja, dengan ya atau tidak begitu saja. Kita tahu, ketika berumur 6 tahun, Thomas Edison diusir pulang oleh gurunya karena bodoh. Tapi seluruh dunia sekarang mengetauhi bahwa Thomas Edison yang dewasa, betul-betul mencahayai dunia kita dengan hasil otaknya yang gilang gemilang itu. Dialah penemu lampu pertama.

jelaslah disini Sang Tempo mengubah Thomas dari murid yang goblok menjadi satu genius (maha cerdas) yang akan tetap dapat kehormatan sejarah dalam dunia seperti Faraday, Ohm, Ampire dan kawannya yang lain. Kita diajar di Sekolah Dasar, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua hal ini memakai tempo. Kita perlu memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana badan. Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dsb, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dst. garis atau bidang.

Dalam ilmu alam kita mengetahui bahwa, air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya, hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air atau sudah menjadi uap.

Dalam kehidupan sehari-haripun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan ya dan tidak saja, kalau sang Tempo campur. Mudah mengatakan orang itu tua, kalau memang sudah hampir atau lebih seratus tahun umurnya, bermata kabur, berambut putih dan bertelinga pekak dsb, atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi jawablah dengan ya atau tidak tua kalau seseorang tetap kuat berupa muda, walaupun umpamanya sudah kira-kira 50 tahun.

Adalah saatnya dimana kita semua makhluk bernyawa ini, seorang dokter yang pintarpun, tak bisa menjawab dengan pasti bahwa kita sudah mati atau masih hidup.

Jadi jikalau pertanyaan itu dicampuri oleh tempo dimana campur perkara timbul dan hilang, hidup dan mati, disinilah Logika menjadi gagal.

KAIT MENGAIT, BERSELUK-BELUK

Segala sesuatu di dunia ini saling kait mengait, air laut akan menjadi uap, tersimpan di balik awan kemudian menjadi hujan yang menyirami tanah, air – air kemudian sebagian masuk ke tanah, lalu keluar pada mata mata air yang mengaliri sungai dan terakhir kembali lagi ke laut. dengan siklus ini berbagai macam kehidupan bisa tumbuh, manusia, hewan dan tumbuhan terbantu hidupnya oleh air. Contoh kait mengait alam misanya : sebuah kopi dengan jenis sama di tanam di dua tempat berbeda, yang satu di malang dan yang satu di toraja, ketika telah matang dan kemudian telah di olah menjadi kopi, kita takarkan pada dua gelas. Gelas pertama kopi toraja dan gelas kedua untuk kopi malang. Ketika di cicipi kita akan merasakan kopi dengan rasa yang berbeda. Padahal jenis kopi ini sama. Perubahan rasa kopi bisa saja di pengaruhi oleh iklim daerah tersebut atau oleh efek – efek alam lainnya. Jadi disini kita tidak bisa menyebut keduanya sama – sama enak. Belum lagi ketika disajikan dengan cara berbeda pastinya penilaiannya akan berbeda pula. Logika menjadi gagal.

PERTENTANGAN

Pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan, ya dan tidak itu tak langsung berupa pertentangan yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul atau hilang. Baru pada kedua perkataan timbul dan hilang ini (weden und vergehen) kata Engels, dia berupa pertentangan.

Seorang warga kotameminjamkan uang pada petani kecil di pesisir palopo. Dengan bunga 2,5 % perbulan. Sangat kecil memang tapi bila di hitung selama setahun, dua tahun atau lebih bisa menjadi lebih besar bila di total semuanya. Dengan begini, sang pemilik modal menjadi kaya, selanjutnya kaya raya. Tanpa bekerja.

Contoh: Seorang warga kota, kita namakan saja Banno’, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Keperluan luar biasa pada masyrakat umumnya, seperti menyekolahkan anak, biaya pendidikan, transportasi sehari, bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Banno’. Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah.

Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama Banno’, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dibayarkan dengan perdamaian diantara tuan Banno’ dengan petani berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan tuan Banno’ yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Banno’ kita andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan. Perkara diperiksa. Kalau perlu tuan Banno’ mencari advokad yang pintar; arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, karena telah di bayar mahal. Dalam 99 diantara 100 perkara semacam itu, tentulah tuan Banno’ yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Banno’, dia tidak bisa membayar advokad. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si petani mesti menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.

Mungkin terlalu panjang contohnya, tapi ini bisa di pakai untuk mempelajari dialektika. Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi? Inilah salah satu dari pertanyaan yangtidak boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara: Yang berpunya dengan Tak berpunya.

Tuan Banno’ yang Berpunya, sebagian besar dari orang hokum dan Pemerintah berdasar “kepunyaan sendiri”, tentulah 100% membenarkan putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan semua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.

Sebaliknya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan bahwa putusan Hakim “tidak” adil.

Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab dengan ya atau tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil sudut dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.

Bagian 4. GERAKAN

Satu bola, berguling, bergerak, pada satu saat kita bertanya: Apakah bola ini pada saat ini disini atau tidak disini?

Inilah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya. sebab kalau kita jawab ya maka hal ini bertentangan dengan keadaan bola yang bergerak. Bola yang bergerak tentulah tidak disini lagi. Kalau sebaliknya kita jawab tidak, maka hal ini mesti bertentangan dengan pertanyaan kita sendiri. Karena kita bertanya, apakah pada saat ini boleh itu ada disini, dan memang ada disini.

Jadi dalam semua benda yang bergerak, kita mesti memakai Dialektika. Kita mesti ketahui, bahwa semua benda di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berubah, bergerak. Tumbuhan muncul dari bijinya, tumbuh, berbuah, dan mati, zatnya kembali ke tanah, ke air dan ke udara. Hewan lahir, tumbuh, beranak, tua, mati dan zatnya kembali ke tanah. Logam berkarat dan luntur. Bintang yang sebesar-besarnya bergerak pada sumbunya sendiri.

Bumi bergerak mengelilingi Bintang, ialah Matahari. Atom yang kecil pun tidak tetap, melainkan bergerak juga. Begitu juga kodrat, berubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sekarang kodrat itu berupa panas, nanti dia berupa sinar, sebentar lagi bertukar berupa cahaya. Sekarang kodrat itu tersembunyi dalam air, nanti dalam uap. Disini kodrat panas atau sinar tersembunyi dalam listrik, disana pada benda menyala. Begitulah seterusnya, seperti kata Engels, dalam Anti Duhring: “seluruhnya Gerakan Alam itu boleh diickhtiarkan dengan “peralihan” kodrat yang tiada putus-putusnya dari satu bentuk ke bentuk yang lain”. Banyak sekali pemikir mengikhtisarkan Alam kita ini dengan: “Matter in move”, benda bergerak, karena gerakanlah yang jadi sifat benda yang terutama, maka Dialektikalah Hukum Berpikir yang terutama sekali.

Pada empat perkara tsb, diataslah timbulnya persoalan Dialektika. Kalau dipandang dari penjuru tempoh, maka Dialektika itu boleh juga kita namai Ilmu Berpikir Berlainan, yaitu dalam hal berpikir yang memperhatikan tempoh dimasa sesuatu benda, tumbuh dan hilang, hidup dan mati. Kalau dipandang dari penjuru kena-mengena dan seluk-beluknya sesuatu benda dengan benda lain, maka Dialektika tadi boleh pula dikatakan Ilmu Berpikir yang dalam hal kena-mengena, dalam hal berseluk-beluk (verkettung und Zusammenhang, kata Engels), bukan sendirinya. Sering sekali Dialektika dinamai Ilmu Berpikir pertentangan. Dan seperti sudah kita katakan diatas juga pernah dinamai Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Kata Engels juga kita mesti mempelajari suatu benda dengan memperhatikan “pertentangannya, kena-mengenanya serta seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya”.

DIALEKTIKA DAN LOGIKA

Kapankah dipakai Dialektika dan kapankan dipakai Logika?

Dialektika sangat menguasai daerah kita berpikir, ini bukan berarti bahwa Logika tidak berguna sama sekali. Disini belum tempatnya buat menguraikan Logika, tetapi kita juga tidak asing lagi dengan Logika itu. Cara yang kita kemukakan yang dipakai dalam Ilmu Alam ialah cara yang diutamakan dalam Logika. yakni Induction, Deduction, dan Verification,. Tiga cara ini ada perkenaannya dengan 3 cara yang dipakai dalam Matematika, ialah Synthetic, Analytic dan ad Absurdum. Buat menjawab pertanyaan diatas, tidaklah perlu kita menguraikan Logika yang lebar dan dalam. Kita cukup mengungkapkan sifat Logika yang terutama dan bertentangan dengan sifat Dialektika. Sudah kita uraikan bahwa menurut Logika ya itu ya dan ya itu bukan tidak. walaupun maknanya sama. Bentuk yang lazim dipakai buat menggambarkan Logika, yakni A = A ; A bukan Non A (tidak A). Jadi Hukum berpikir yang berbentuk A bukan Non A itu, sama maknanya dengan ya itu bukan tidak. Dalam buku Logika juga sering dikatakan “sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu”, “a thing is not its opposite”. Tetapi diatas telah dijelaskan bahwa sesuatu barang itu boleh lawannya barang itu, A itu boleh Non A, ya itu boleh berarti tidak; bola bergerak itu pada satu saat boleh disini dan tak disini. Pada satu saat orang itu boleh hidup dan mati. Pada satu waktu air itu boleh air atau uap, dsb.


Bagaimana kita bisa mendamaikan kedua Hukum Berpikir yang berlawanan satu sama lainnya itu? Atau bisakah mereka didamaikan, sehingga kalau yang satu hidup yang lainnya mesti mati? Kalau yang satu dipakai yang lain mesti dibuang? Atau bolehkah masing-masing kita beri daerahnya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa pada daerah ini kita pakai terutama Dialektika, dan pada daerah itu kita pakai terutama Logika?

Memang kita bisa menentukan daerah masing-masing dan pada daerah masing-masing berkuasa salah satunya Hukum Berpikir itu. Tetapi tiadalah masing-masing berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika. Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda berhenti masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diamati dengan tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.

Pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan dan tengah, besar sekali kekuasaannya Logika. Sedangkan pada Matematika dan Ilmu Alam tertinggi, mesti lari pada Dialektika. Pemikir logika yang sering dimajukan oleh Plechanoff, sebelum bercerai, adalah guru dan kawan separtainya Lenin, ialah Ueberweg. Memang Ueberweg jitu sekali mendifinisikan Logika, sesudah Ilmu ini dia bandingkan dengan Dialektika. Kata Ueberweg: Pertanyaan yang pasti dan berpengertian pasti apakah satu sifat termasuk pada satu benda, mesti dijawab dengan yuntuk menerjemahkan definisi Ueberweg ini. Dihadapan kita ada satu kotak. Kotak itu seperti biasa mempunyai enam (6) sisi. Sisi depan dan belakang dicat putih, serta sisi kiri dan kanan dicat hitam. Kalau kita mesti bertanya menurut Ueberweg, kita mesti menyusun persoalan kita seperti dibawah ini: Apakah warna kotak ini, kalau dipandang dari muka? Jawab putih. Kalau dipandang dari sisi kiri? Jawab hitam. Dengan begitu pertanyaan kita adalah pasti. Kita tanyakan warnanya kotak kalau dipandang dari satu pihak, bukan warna seluruhnya kotak itu, hanya warna sebagiannya dari kotak tadi. Jawabnya yaitu putih juga pasti, karena putih bukan hitam (A = A dan A bukan Non A). Dengan begitu kita memenuhi definisi Ueberweg seperti diatas. Warna kotak kalau dipandang dari muka, jadi sebagian kotak adalah putih bukan hitam.

Kalau pertanyaan itu mesti disusun buat seluruhnya kotak dan cocok pula dengan definisi Ueberweg, kita mesti susun: Apakah warna seluruh kotak itu kalau kita pandang dari sudut? Disini Ueberweg gagal. Dia tidak bisa menjawab secara Dialektika, sebab disini kita bertemu dengan perkara yang berseluk-beluk. Pertanyaan seperti ini kita mesti jawab dengan putih dan hitam, ialah putih dan tak putih, A dan Non A. Jawabnya kembar, tak bisa dipisahkan.

Tetapi Ueberweg juga cerdik dan bukan keras kepala. Pada tempat lain, sesudah berpengalaman lebih banyak, dia juga terangkan kira-kira: Kalau bertemu perkara yang simple, mudah, kita mesti pakai Logika, tetapi kalau berjumpakan yang sulit, complex, kita mesti pakai perpaduan dari dua pertentangan. Dia tiada menyebut Dialektika, melainkan perpaduan dua pertentangan, ialah perpaduan putih dan hitam, A dan Non A yang menurut definisi Ueberweg bermula, tidak boleh terjadi.

Begitu juga dalam perkara yang termasuk ke dalam daerah pertentangan, maka kita lebih dahulu mesti tentukan Dialektika dan Logika masing-masingnya. Kalau ditanya dengan pasti, bagaimanakah putusan Hakim terhadap tuan Banno’ dengan petani tadi, kalau dipandang dari pihak Kaum Berpunya, maka kita boleh jawab dengan pasti: ya. Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti pula, apakah putusan itu, kalau dipandang dari pihak Kaum Tak Berpunya, kita juga bisa jawab dengan pasti pula: tidak. Kedua jawab itu pasti, cocok dengan Logika: ya itu ya ; tidak itu tidak; ya bukan tidak. (A = A ; A itu bukan Non A). Jadi dalam daerah yang pasti ini, ialah dalam daerah salah satu pihak di antara dua pihak yang bertentangan, maka kita boleh menjalankan Logika.

Tetapi dalam bulatnya, abstraknya, pertanyaan tadi sudah tak bisa lagi diselesaikan dengan Logika. Kita mesti lari kepada Dialektika. Jadi kalau kita bertanya bulatnya saja, apakah keputusan Hakim tadi adil, maka tidaklah lagi bisa diajwab dengan ya atau tidak saja. Kita mesti jawab dengan ya dan tidak, dengan A dan non A, kembar. Satu penjawab berdarah Dialektika, walaupun belum dapat latihan Dialektika, juga menjawab pertanyaan semacam itu dengan pertanyaan pula. Dia bertanya dipandang dari pihak manakah adil atau tidaknya? Dalam pertanyaan yang semacam ini, sudah terkandung jawab yang pasti pula.

Untuk yang terakhir, kita ambil perkara yang berkenaan dengan tempo. Memang tempo penting dalam semua persoalan. Bukan saja Scientist yang tajam, tetapi juga Strategist, ahli perang, yang maha tangkas dan Diplomat yang piawai (ulung) tidak boleh melupakan Sang Tempo. Buat contoh tidaklah perlu kita panggil kesini Strategis ataupun Diplomat.

Marilah kita ambil barang biasa saja, seperti air. Kita tahu air dapat memutar roda kincirnya, tetapi air saja berapapun kuatnya dialirkan, tak bisa memutar roda Lokomotif yang berat itu yang mesti menarik sepuluh atau lebih gerobak penuh muataan pula. Air itu mesti dimasak dahulu dalam ketelnya Lokomotif tadi, sampai jadi uap. Uap ini dengan memakai kecerdikan tehnik bisa memutar roda tadi terus-menerus, dari Jakarta sampai ke Surabaya, kalau perlu sepuluh kali lebih jauh. Jadi uap yang memutar roda Lokomotif tadi bukan air, walaupun uap tadi berasal dari air, dan air ini kalau dimasak cukup lama, jadi cukup membiarkan Sang Tempo bekerja, akan jadi air uap. Sekarang akan kita pakai kunci-Ueberweg buat menyelesaiakn persoalan yang pasti seperti berikut: Bisakah air memutar roda lokomotif? Kita jawab dengan pasti, tidak. Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti juga: bisakah uap keluar dari ketel lokomotif kita tadi, yakni kalau cukup banyak, memutar rodanya? Kita jawab dengan pasti pula, bisa (kalau lokomotif rusak tentu jawabnya pula rusak!). Tetapi pada saat Sang Tempo, dimasa Sang Tempo belum selesai menjalankan kewajibannya pada saat, dimasa air tadi sedang bertukar jadi uap, di masa sebagian air sedang jadi uap, dan uap masih lekat pada air, pada saat dimasa panasnya air tepat 100 derajat, disini Ueberweg gagal.

Kalau kita pakai Kunci-Ueberweg dan bertanya: Bisakah uap kita semacam ini memutar roda lokomotif, kita tidak bisa jawab dengan ya atau tidak saja, tetapi kita pakai Kunci-Dialektika dengan menyelesaikan jawabanya dengan ya dan tidak, kembar. Tidak bisa yakni pada saat ini, pada satu saat, persis, tepat pada panasnya air 100º. Pada saat ini Sang Tempo belum beres lagi kerjanya dan Sang Lokomotif masih mendesus-desus, seperti. Tetapi belum habis perkataan tidak bisa tadi dikeluarkan dari mulut si penjawab, roda lokomotif sudah bergerak, seolah-olah membatalkan jawab tak bisa tadi dengan perkataan bisa. Jadi pada saat panas air persis, tepat 100 º tadi (umpamanya saja) jawab pertanyaan kita mesti bisa dan tak bisa, ya dan tidak, kembar, berpadu. Pada saat ini berkuasalah Dialektika: A = Non A.

Penjawab yang berdarah Dialektika walaupun belum latihan juga tidak melupakan tempo dalam perkara yang berkenaan dengan tempo. Pertanyaan: Bisakah uap air dimasak memutar lokomotif, akan dijawabnya dengan pertanyaan pula; sesudah berapa lama? Sesudah Sang Tempoh dipastikan, barulah bisa dipastikan ya atau tidaknya. Pada daerah inilah berlaku Hukum Logika A = A ; A bukan Non A


Referensi Buku :


Tan, Malaka, 1951 Madilog : Materialisme, Dialektika dan Logika, Jakarta: Widyajaya.

Tidak ada komentar